Bendera Hitam Kelima Kembali berkibar
Sekali lagi drama kesedihan itu diputar kembali oleh sang Khalik. Manakala senandung Fitri masih terngiang jelas dalam kambium hati. Saat kita kembali terlahir menjadi jiwa-jiwa yang suci. Entah harus dimulai dari mana dan dengan kata apa untuk menyuarakan kesedihan yang datang tanpa salam ini. Saya, sebagai penulis yang terbiasa berjumpalitan dengan kata, kini seolah kandas di dermaga tanpa ide. Habis sudah!
Episode optimis kala edisi XVII (sebelumnya,red) terlahir tanpa in memoriam ternyata hanyalah bom waktu, meledak hebat ketika kabar musibah itu bergaung pilu penuh luka di seantero SMK tercinta. Karena itu pula, dengan penuh ikhtiar dan segala daya, saya beranikan untuk kembali menulis catatan pahit ini. Bismillahirrahmanirrahim.... hamba berserah dan semoga bisa! Semoga pula kolom in memoriam yang kami sediakan guna mengenang wafatnya siswa/teman kita tak selalu ”minta” untuk ditampilkan. Amin.
Rintik hujan - penanda musim kemarau telah berlalu – memang belum tampak di wilayah Cerme dan sekitarnya. Akan tetapi, tetesan air nestapa yang bersumber dari relung jiwa telah mendahului. Ketika genderang kualifikasi serupa UTS sebentar lagi ditabuh, genderang musibah lebih dulu membahana. Saat semangat kembali mengenang jasa-jasa pahlawan – dalam bingkai 10 November - hendak membuncah, harus ada yang lebih dulu ”kembali” kepada-Nya. Drama kesedihan yang dirasakan saudara-saudara kita di Sumbar dan Jambi seperti dilengkapi puzzle penutup saat ”tiba waktunya” salah satu siswa/teman kita kembali ke hadapan Ilahi Robbi. Dan, bendera hitam kembali berkibar untuk kelima kalinya....
(La Haula wala quwwata Illa Billah....beri hamba kekuatan dan kemampuan untuk melanjutkan tulisan ini!)
Syahirul Syarifuddin. Itulah namanya. Lelaki pendiam asal desa Dungus Lor ini tak pernah buat pelanggaran di skul. Catatan kepribadiannya pun lumayan baik. Tapi, musibah tidak pernah melihat latar belakang seseorang. Siswa kelas XI TITL 3 kelahiran 23 Juni 1993 ini dalam satu peristiwa menjadi korban kecelakaan. Sungguh tragis dan menyayat hati. Bagaimana tidak, ketika momentum PI guna merajut ilmu terbingkai, putra pasangan bapak Choirul Anam dan Suwanik ini harus rela mengubur impian meraih cita dan asa karena terhenti dalam tembok bernama kematian.
Lagi-lagi takdir bernama kematian itu datang lewat pintu yang sama. KECELAKAAN yang naas. Pintu itu seperti mengingatkan kita akan tragedi serupa yang menimpa empat siswa/teman kita sebelumnya. Dan kini, genap sudah yang kelima. Seperti pancasila dengan lima kalimat ”sakti” penuh falsafah, semoga Yang Kelima ini menjadi cemeti hebat untuk kita berinstropeksi diri. Kita pun mengiba penuh tawakkal ”cukup sudah”. Meski, catatan tentang usia manusia sepenuhnya menjadi kuasa-Nya. Tak ada yang tahu dan tak ada yang berhak tahu.
Astaghfirullah, saya pun hampir lupa menyenandungkan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Semoga arwah laki-laki bertinggi badan 167/46 kg ini diterima dengan baik di sisi Allah SWT. Semoga pula amal kebaikannya diterima sedangkan segala khilaf serta salah diampuni oleh Sang Maha Rahman lagi Rohim. Untuk keluarga, sahabat, teman, guru yang ditinggalkan baju ketabahan semoga dilekatkan oleh Allah kepada siswa yang sehari-hari dipanggil Syahrul ini.
Karena ajal adalah misteri terbesar dalam hidup umat manusia, sudah tiba saatnya bagi kita – yang masih hidup – untuk kembali ke jalan-Nya, memperbanyak amal ibadah dan kebaikan. Tak lupa pula, kita harus selalu berpedoman bahwa ketika tiba giliran untuk dipanggil ”pulang”, kita sudah punya bekal yang cukup untuk menghadap-Nya. Amin, amin, ya robbal alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar