Indonesia adalah surga sepak bola. Kita dimanjakan dengan tontonan gratis di layar kaca antara 2 s.d. 8 pertandingan per pekan, bahkan bisa lebih. Sepakbola indah nan memukau kita nikmati via Liga Inggris, Spanyol, Italia bahkan Liga Champions secara cuma-cuma. Belum lagi jika ada gelaran Piala dunia, Eropa bahkan Asia kita juga tak perlu membayar untuk menontonnya. Untuk arena lokal, kini kita dapat suguhan Liga baru di nusantara bermerek Liga Premier Indonesia bersanding dengan liga Indonesia yang sudah ada (ISL dan Divisi Utama, red).
Klop bukan? Jadi jangan pernah menyesal hidup di Indonesia. Di negara lain cerita bisa berbeda. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam guna nonton sepakbola via tv berbayar. Sedang di Indonesia, meski ada juga yang memanfaatkan jasa tersebut, tidak usah munafik jika kita lebih memilih nonton secara gratis. Betul?
Namun, yang jadi pokok bahasan di tulisan saya ini adalah tentang kehadiran Liga Primer Indonesia. Kompetisi yang “dianggap” tandingan liga milik PSSI ini jelas menjadikan Hati Pencinta Sepakbola di Indonesia terbelah. Liga yang baru bergulir awal tahun 2011 ini dimotori oleh sang hartawan Arifin Panigoro. Mana yang benar, atau mana yang salah? Jelas saya yang orang awam tak bisa menghakimi. Untuk itu, ikuti coretan saya selanjutnya.
Kasus hadirnya LPI dari sisi ekonomi adalah lahan baru bagi pekerja yang memanfaatkan sepakbola sebagai ladang mengais rezeki. Ini bisa jadi sisi positif. Berapa ratus pedagang yang gara-gara ada LPI menjadikan nafkahnya bertambah. Selain itu, ratusan orang juga ikut-ikutan mempunyai lahan pekerjaan baru serupa penjaga tiket, calo, petugas keamanan, pemotong rumput, de-el-el.
Dari sisi persaingan, ini bisa jadi serupa antara Sariayu vs Mustika Ratu, Blue Bird vs Express, Hypermart vs Carrefour, Indomaret vs Alfamart, Coca Cola vs Pepsi, Honda vs Yamaha, atau bahkan Soto Lamongan dan Soto kota-kota yang lain, justru akhirnya membuat industri bersangkutan semakin maju dan berkembang. Apakah PSSI dengan ISL dan kasta di bawahnya vs LPI dapat bersaing secara sehat seperti daftar merek tadi? Semoga saja karena Ke depan, diharapkan kedua liga tersebut akan berlomba membuktikan bahwa merekalah yang terbaik. Inovasi-inovasi baru mungkin akan tercipta, kualitas akan terus meningkat dan keuntungan akan semakin bertambah. Imbasnya, prestasi sepakbola nasional (timnas, red) lebih membanggakan. Amin….
Jadi jangan pernah mengeluh melihat persepakbolaan di Indonesia. Dua liga dalam satu wadah bisa saja terjadi asalkan keduanya sama-sama merk dagang yang disuguhkan kepada publik, bersaing sehat lalu pada akhirnya biarkan sepakbola mania yang memilih. Cukup lah kita berkata “nikmati saja” karena biar bagaimanapun dua liga (tanpa menyoal sistem, aturan, teknis, dll) ini jadi hiburan tersendiri pencinta bola sore hari terutama akhir pekan. Selain itu tontonan di tv jadi lebih berwarna dan kitalah yang menentukan. Ketika ada Persisam vs PKT di ajang ISL (ANTV) dan dalam waktu bersamaan ada Tangerang Wolves vs Persebaya di ajang LPI (Indosiar) pertengahan Januari lalu, saya yakin mayoritas pecandu bola lebih memilih nonton ISL karena kualitas permainan dan lapangan yang jauh lebih yahud. Pada waktu lain bukan tak mungkin situasi bisa berbeda.
Sore hari ada Liga Indonesia serupa ISL, Liga T-Phone, dan LPI. JIka malam tiba, ada TVone dengan Fiesta La Liga-nya. Global TV dan MNCTV memanjakan pemirsa dengan Barclays Premier League plus FA Cup-nya, Indosiar siarkan Lega Calcio. RCTI merebut hati dengan Liga Champions dan Europe League-nya. Meski ada intrik negatif menyoal kehadiran LPI, tetap saja ini menambah hidangan yang siap dinikmati pencinta sepakbola tanah air. Jadi, berbanggalah kita hidup di Indonesia dengan carut marut politik yang tak kunjung selesai namun tetap istimewa dalam sajian sepakbola. (aluk 2/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar