Telur itu terlanjur menetas sebelum tiba waktunya menjadi seekor ayam. Yupz, itu mungkin kalimat sahih yang patut kita alamatkan untuk Timnas Indonesia. Pada penghujung 2010 kita dibuat bangga sekaligus sedih oleh tim merah putih. Tampil perkasa sejak fase penyisihan sampai semifinal namun “terlelap” pada Leg 1 babak final. Sampai akhirnya mimpi sejak 19 tahun untuk jadi juara gagal terwujud.
What’s wrong? Terganggunya konsentrasi pemain akibat agenda PSSI serta Media yang “berekspektasi super tinggi” memang jadi faktor utama (menurut Riedl,red). Kasus laser Malaysia ala Ultraman juga layak dikedepankan. Namun, ada satu hal yang sebenarnya jadi kunci utama yakni mental pemain.
Lima pertandingan awal (penyisihan dan semifinal) yang berhasil dimenangi Timnas (plus laga terakhir kontra Malaysia) semua digelar di kandang sendiri, di depan puluhan ribu suporter fanatiknya. Catat! Kondisi demikian seolah jadi jargon, timnas Cuma jago kandang. Laga uji coba jelang AFF pun setali tiga uang. Hampir semua dilakukan di depan publik sendiri. Nah, ketika harus melawat ke negeri orang, kokohnya tembok pertahanan (kemasukan 3 gol dari 6 laga) seolah hilang magis. Maman – yang dikenal tangguh dalam 5 pertandingan awal – seolah terhipnotis dan membiarkan Moh Sahrul mengambil bola dalam pengguasaannya lalu terciptalah gol pertama.
PSSI sebagai induk yang melahirkan timnas jelas dianggap paling bertanggung jawab. Ide naturalisasi memang cukup brilian. Namun itu saja tak cukup untuk berprestasi. Pembinaan mental pemain sejak dini juga musti jadi perhatian. Sowan ke sana-sini sah-sah saja, tapi semua itu bisa dilakukan setelah telur selesai dierami dan tiba waktunya tuk menetas……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar