Sabtu, 19 Januari 2013

Pengrajin keling di “Pekelingan”

Kelingan, demikianlah sebuah nama wilayah yang ada di sebelah utara kota Gresik (sekitar wilayah Pasar Gresik). Wilayah ini ternyata menyimpan sebuah peristiwa bersejarah, yaitu penerimaan sebuah peti bayi yang indah. Peti ini ditemukan di tengah laut, tepatnya di selat Bali. Peti ini ternyata berisi bayi laki-laki yang tampan dan bercahaya. Penerima peti itu adalah Salamah, seorang juragan besar di kota Gresik. Ia menerima peti itu dari nakhoda kapalnya. Atas peristiwa penerimaan peti bayi itu, terucaplah dari bibir Salamah: "Aku menamakan bayi ini Joko Samudera, karena bayi ini ditemukan di tengah samudera. Dan tempatku ini aku namakan Kelingan, karena kunci peti bayi ini terbuat dari rangkaian besi yang dikeling. "Dari kata Kelingan inilah kelak timbul nama Kampung Kelingan yang berarti tempat pembuat (kerajinan) besi kelingan. Kini, kata "Pekelingan " ini menjadi nama sebuah desa (sekarang kelurahan) Pekelingan. Juragan Slamah terkenal dalam panggung sejarah kota Gresik sebagai syahbadar Pelabuhan Gresik dengan julukan Nyai Ageng Pinatih. Kelingan sebagai pusat pelabuhan Gresik waktu itu, meliputi Kebungson, Pekelingan, dan sebagian Kemuteran sekarang. Sebagai petunjuk dapat dilihat toponim Kelingan yang berupa nama-nama kampung yang ada di Pekelingan dan Kebungson sekarang, seperti Begedongan, Kepatihan, Rogo, Pemangkatan, dan seterusnya. Sedangkan bayi Joko Samudera dalam panggung sejarah penyebaran agama Islam dikenal dengan Sunan Giri. Peristiwa penerimaan peti bayi Joko Samudera ini terjadi pada Tahun 1443 dan layak diabadikan sebagai Hari Jadi Pekelingan.   SEJARAH DESA KROMAN Sindujaya, demikianlah nama seorang tokoh wali, ulama, dan umaro yang melegenda bagi masyarakat kota Gresik umumnya, khususnya masyarakat Lumpur dan Kroman. Tokoh yang satu ini memang bukan dari Gresik. Ia dilahirkan di Lamongan dan pernah mengenyam sebagai santri Sunan Prapen, penguasa Giri Kedhaton ke-4. Jiwanya begitu bergelora dan bersemangat ingin terus mengembara dan mencari ilmu kemana kata hatinya berkata. Suatu ketika, ia dan ketiga kawannya mendapat tugas khusus dari raja Kraton Kartasura dan berhasil gemilang, sehingga ia mendapat gelar kehormatan Sindujaya. Pada kesempatan lain ia diangkat menjadi senapati Ampel Denta guna menghadapi prajurit Gumeno. Pada akhirnnya terjadilah duel antara Sindujaya melawan Kidang Palih dan istrinya pemimpin Gumeno. Dalam pertempuran itu ia berhasil menang, karena kesaktiannya menggunakan ilmu kekebalan tubuh, gerak dan tingkahnya tak dapat dilihat/didengar musuh. Pada akhirnya ia mendapat penghargaan dari pangeran Ampel Denta berupa baju kebesaran/blankon dan keris sebagai simbol status (sebagai seorang penguasa). Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1652 dan layak untuk dijadikan Hari Jadi Kraman yang berarti pemberontakan (Gumeno terhadap Ampel Denta). Kini, kata "kraman" berubah ucapan menjadi Kroman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar